“Seandainya kita hanya mempunyai sisa waktu lima menit untuk mengatakan semua yang ingin kita katakan, setiap telepon umum pasti akan penuh dengan orang-orang yang saling menelepon untuk mengatakan bahwa mereka saling mencintai”
Saat membaca penggalan kalimat tersebut, hati ini seraya mengiyakan, benar. Eh ini bukan kalimat dalam roman picisan ataupun novel romantis, tapi ini ada dalam  buku parenting lho.. karya lamanya mba Ifa Avianty, judulnya Anakku Sahabatku’.
Dalam bukunya, mba Ifa mengungkapkan sepenggal kisah perjalanan cintanya bersama sang putra tercinta. Ketika ia rasa sayang itu menguat tatkala diam-diam ia memandangi si kecil saat tertidur, dan membisikkan kata-kata cinta dan pujian padanya. Ketika ia tak jemu-jemunya mengungkapkan rasa cintanya pada Akna, sang buah hati tercinta “Selamat pagi cintaku, matahariku, pelangiku”. Begitu ungkapnya saat menyambutnya di setiap pagi.  Dan ternyata, Akna yang mulai tumbuh menjadi besar tak melupakan itu semua. Ia mulai mencatat ungkapan sayang sang bunda, bukan pada buku atau selembar kertas, tapi ia mencatat  jauh dalam hatinya.
Naah, jadi jangan segan-segan untuk menyatakan rasa sayang kita pada anak-anak. Dari pengalaman saya, apa yang mba Ifa ungkapkan memang benar. Buatlah golden moment pada masing-masing anak. Tidak harus di dalam kelas tatkala pelajaran sedang berlangsung, justru saat-saat santailah waktu yang lebih tepat. Pernah suatu ketika saya sengaja menemani waktu istirahat seorang anak yang dikenal mudah emosi dan memiliki rasa sensitif yang tinggi. Di awal semester 1 dulu, ia kerap berantem berujung pada drama tangis bahkan mogok sekolah pun pernah. Saat dia sedang sendirian, sayapun duduk di sebelahnya.
“Mas Eda, gmn kabar Om Budi?”, tanyaku pelan.
“Om Budi udah ngga di semarang”. Jawabnya singkat.
Om Budi adalah orang yang dikaguminya. Dialah orang yang menggantikan sosok ayahnya selama ini. Pembicaraanpun mulai mengalir lancar.
“Mas Eda tau ngga kalau bu guru sayang sama mas Eda? Tapi, bu guru sedih kalau mas Eda melakukan hal yang ngga baik”.
“iyya Bu..”, jawabnya polos.
“Mas Eda sayang ngga sama bu guru?, Mas Eda sayang atau sayang banget sama ibu di rumah?, Mas Eda sayang Om Budi kan?”  tanyaku.
“Iya sayang”,
“Kira-kira Ibu sama Om Budi sedih atau sedih banget kalau liat mas Eda berantem? atau Mainan sendiri pas pelajaran?”, lanjutku.
“Sedih Bu..”.
Obrolan itu diakhiri dengan menyatunya jari kelingking dan jempol kita, tanda janji. Dia mau belajar untuk berubah. MasyaAllah, di suatu kesempatan bertemu ibunya saat sekolah tlah usai. Sang ibu menceritakan bahwa suatu ketika anak semata wayangnya minta ma’af dan bilang sayang pada padanya.
Satu lagi yang sebaiknya jangan lupakan adalah home visit . Karena dengan home visit  inilah makin lengkaplah informasi tentang si anak. Semakin banyak info maka makin mudah kita memahami kondisi anak. Dan mencari celah untuk masuk ke dunianya. Saya yakin tiap anak memilikinya. Misalnya, ia suka ketika sedang dinasihati sambil kepalanya di usap, atau ia akan lebih suka ketika kita memiliki frame yang sama tentang suatu hal, ngga usah segan atau malu main bersamanya.  Pokoknya cari pintu masuk ke hati mereka. Dapatkan sensasinya, selamat bersahabat dengan anak..
#menuju Golden moment berikutnya