RSS

Merentas Jalan menuju Inspiring Teacher

10 Nov

Sekali lagi, ditemani rintikan hujan. Melewati senja kali ini, begitu mempesona. Meski secara kasat mata yang nampak hanyalah butiran-butiran hujan, aku tau senja tetap begitu menawan. Terserah kata mu, senja lagi senja lagi [#pengagum senja]. Ada yang berbeda dengan senja kali ini. apakah engkau tau, bahwa senja ini beberapa lembaran kisah yang tersimpan dalam satu cawan yang menjadi mozaik kehidupan ku mulai berterbangan. Melayang, jauh ke masa silam.

“Assalamu’alaykum za, tadi aku ke sekolah kita dulu. Ketemu Mr. B dan minta nomer HP mu. hmm dasar anak kesayangan, hehee…”

Ku tatap layar di HP, sms mu kemarin malam baru sempat ku baca pagi tadi. Dan akhirnya sepagian kita smsan dan titik akhirnya adalah kau putuskan tuk mengunjungiku sore ini.

Baiklah, akhirnya kaupun datang seusai menunaikan tugas muliamu, mencetak generasi penerus bangsa. Tentu saja aku sangat bahagia, terakhir kita bertemu saat acara buka puasa bareng di Ramadhan istimewa kemarin. Tapi, tak kusangka kali ini kau membawa kunci yang membuat lembaran-lembaran kisahku terbang ke masa silam bersama segumpal kisah perjalananmu. 🙂

Tapi, ma’af yang terdalam. Lembaran-lembaran kisah yang berterbangan itu tidak bisa di share kan di ruang ini. Senja sudah mengamankan kembali lembaran-lembaran itu, dan entah siapa yang kelak beruntung membukannya kembali hahaaa. Kita mulai saja kisah perjalanan mu kawan.

Ini tentang sebuah idealisme. Aku menyebutnya begitu, dan kau menyepakatinya. Aku tetap mendengarkan kisahmu dengan seksama, meski sesekali ku menyanggah, menimpali atau bahkan hanya nampak beberapa anggukan kepala dariku sebagai tanda aku menyimak dengan sungguh.

“Semester ini aku mau ngajar semau gue.”

Katamu sembari tersenyum saat kau menceritakan seorang lelaki teman kerjamu yang mengatakan bahwa karena dirinya hanya di gaji lima belas ribu rupiah per jam maka dia mengajar biasa saja, beda kalau ia dibayar dengan gaji sebesar dua puluh lima ribu rupiah perjam, tentu saja ia akan mengajar dengan sungguh-sungguh, begitu ceritamu. Dan ternyata kau menimpali dengan kata-kata tadi dan kau menambahkan bahwa kau akan rugi bila tidak seperti dia. Sementara kau mengajar sungguh-sungguh seperti para guru matahari terbit. [guru yang baru kemarin sore keluar dari rumah produksi bernama kampus pendidikan] meskipun tidak semua guru matahari terbit demikian. Ternyata yang lain tidak sepertimu, mengajar seadanya, hanya menggugurkan kewajiban. Tentu saja ini membuatmu merugi, begitu pikirmu.

Sontak saja membuatku terpana dan ma’af bila akhirnya ku menyanggahmu. Dari awal kau menuturkan kisah perjalanan pengabdian mu panjang lebar. Menjalani aktivitas sebagai seorang guru swasta, honorer di sebuah MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan sebuah SMA swasta membuatku berdecak kagum, perjuanganmu melayangkan seabrek surat lamaran pekerjaan dan kisahmu yang hanya digaji dengan nominal yang sempat membuatku terpana, jarak yang harus kau tempuh menuju SMA swasta tempatmu mengabdi…sungguh, membuatku terkagum. Tapi ma’af, penggalan kisahmu yang memutuskan untuk mengajar semau ‘gue’ itu bener-bener membuatku sedikit kecewa.

Meskipun kau berdalih bahwa idealisme yang di bangga-banggakan di kampus akan kandas ketika kau menyentuh lapangan, dunia yang sesungguhnya. Menghadapi puluhan anak-anak yang badung dan hanya “melongo’ saat kau tanyakan kembali apa yang baru saja kau ajarkan. Lelah, apalagi sistem pendidikan kita yang masih jauh dari harapan tentu saja membuat mu tak setajam saat kau kuliah.

***

Perlahan ku menanyakan pada diri ini, benarkah demikian?” seperti itukah?? Mampukah kita?? Apakah menjadi guru inspiratif begitu berat, mampukah menepis semuanya???

Tentu saja setiap orang ingin menjadi seorang guru inspiratif, guru yang memberikan ilmunya pada siapapun atas dorongan iman. Guru disini bukan hanya dalam tataran profesi saja. Tapi setiap hal adalah pelajaran dan setiap orang adalah guru.  Bukankah setiap aktivitas kita, berangkat dan pulang kita niatkan untuk ibadah. Kerja kita, keringat kita, waktu kita hanya untuk Allah. Pikiran yang kita sumbangkan, tenaga yang kita curahkan, bukankah hanya untuk Allah semata. Bila lelah kita hanya untuk Allah, masih adakah artinya menghitung setiap rupiah dari tetesan keringat kita??

Untuk mu saudaraku, selamat merentas jalan menuju Inspiring Teacher

Purbalingga,

Bersama senja menawan dan hujan rupawan 🙂

 
4 Comments

Posted by on November 10, 2011 in goresan pena

 

4 responses to “Merentas Jalan menuju Inspiring Teacher

  1. ramadhan

    November 10, 2011 at 1:15 pm

    Bersama senja menawan dan hujan rupawan 🙂

    nice info,

     
    • enza

      November 11, 2011 at 8:00 am

      heheheee…. iyya senja yang slalu menawanku, dan hujan yang begitu rupawan membuatku tak bosan menatapnya selain itu yg jelas ngga perlu GB..hahaa 😀

       
  2. 4riz_amazing

    November 12, 2011 at 2:14 pm

    Harus mampu menempatkan idealisme dan Rupiah sesuai dengan tempatnya, karena guru juga berhak mendapat upah(gaji) sesuai dengan kompetensinya — Buku Perbandingan Pendidikan Islam karya Ali Al Jumbulati

     
  3. Wulan Bila

    December 14, 2011 at 10:23 am

    Nyatanya ‘godaan’ itu terasa kecil tapi mengiris dengan nyata saat kita tak lagi terhimpun dalam komunitas yang menguatkan.
    🙂

     

Leave a reply to enza Cancel reply